Al-Ghauts Al A’zham Syekh Abdul Qodir Al-Jilani adalah seorang alim yang baik nasabnya, baik dari jalur ibu maupun ayahnya. Nasab dari ayahnya adalah Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsannabin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Sedangkan nasab dari ibunya, Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum’i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul ‘Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala’uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal ‘Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti RasulullahShallallahu ‘alaihi Wassalam.
Sejak bayi karomah beliau mulai nampak. Suatu hari masyarakat hendak menentukan awal Ramadhan, namun hilal tidak bisa terlihat akibat mendung yang pekat, kemudian salah seorang mendatangi Umul Khair Fatimah ibunda syekh Abdul Qodir. Tujuanya ini untuk memastikan syekh Abdul Qodir masih memasukan makanan kedalam perutnya atau tidak, karena semasa bayi beliau tidak makan apapun di bulan Ramadhan. Setelah dipastikan beliau pada hari itu tidak makan lagi, maka masyarakat yakin awala Ramadhan jatuh pada hari itu.
Awal perjalanan thalabul ilmi beliau terjadi pada yaumul idul adha, saat malam takbiran beliau pergi menuju ladang dan didepanya ada seekor sapi jantan kemudian memalingkan wajahnya lalu berkata “Kau diciptakan bukan untuk melakukan hal ini!”. Seketika beliau ketakutan dan pulang kemudian memanjat rumahnya, disana beliau menyaksikan para Jamaah Haji sedang melaksanakan Wukuf di Arafah. Kemudian meminta pada ibunya untuk member izin, beliau meminta dikirim ke Baqhdad,Irak untuk menuntut ilmu.
Ibunda syekh Abdul Qodir pun menangis mendengar cerita putranya, kemudian mengeluarkan harta warisan ayahnya yang kemudian dibagi dua untuknya dan saudara lelakinya. Kemudian ibundanya menjahit emas peninggalan ayahnya di bawah lengan baju syekh Abdul Qodir. Sebelum meninggalkan beliau ibundanya berpesan, bahwasanya beliau harus selalu berkata sejujurnya dalam situasi apapun dan dimana pun, kemudian ibundanya berkata “Mudah-mudahan Allah membimbing mu pada jalannya, aku memisahkan diri dari orang yang paling mencintaiku karena Allah dan aku tahu aku tidak akan pernah melihatmu lagi sampai pada hari pengadilan tiba.”
Pada saat itu syekh Abdul Qodir berusia 18 tahun, perjalanan beliau memasuki kota Baqhdad tidak lah semudah yang kita bayangkan. Dalam perjalanan ia bergabung dengan sebuah kafilah seperginya dari kota Hammadan beliau dihadang oleh kelompok perompak. Kemudian mereka merampas seluruh harta kafilah tersebut, hingga tiba saatnya syekh Abdul Qodir ditanyai “Harta apa yang kamu miliki?” kemudian beliau menjawab “Ada di bawah lenganku,” perompak itu tertawa, datang lagi seorang dari mereka menanyakan hal serupa dan untuk kedua kalinya beliau mengatakan yang sebenarnya. Kemudian ketua perompak yang sedang membagikan jarahan medatangi dan mengajukan pertanyaan sama. Dengan santai beliau menjawab “Ada 40 keping emas di bawah lengan bajuku.” Ketua perompak memeriksa jubah sykeh Abdul Qodir, ternyata apa yang dikatakan beliau benar. Pemimpin itu keheranan dengan sifat sang alim, dan kembali bertanya hal apa yang membuat beliau melakukan hal tersebut. Beliau menyampaikan, bahwa hal ini dilakukan atas pesan ibunya yang menyuruh beliau berkata jujur dalam situasi apapun. Perompak itu menitiskan air mata dan segera menjabat tangan syekh Abdul Qodir dan mendapatkan pengampunan.
Salah satu kunci kesuksesan beliau dalam menuntut ilmu adalah selalu berkata jujur. Walau awalnya, ini adalah perintah Ibundanya, sampai seterusnya beliau selalu berkata jujur dan mengantarnya pada kesuksesan yang luar biasa.
Setelah peritiwa ini ujian beliau dalam menuntut ilmu tidak usai begitu saja, saat di depan gerbang masuk kota Baqhdad beliau dihadang oleh Nabi Hidlir, kemudian menyampaikan perintah Allah. Nabi Hidlir menyampaikan Allah melarang beliau memasuki kota Baqhdad selama 7 tahun kedepan. Kemudian syekh Abdul Qodir mentaatinya dan mengikuti Nabi Hidlir ke padang pasir dan menetap disana. Dalam setahun beliau hanya makan rumput dan dedaunan tanpa minum, ditahun berikutnya beliau hanya minum, di tahun yang lain beliau makan namun tidak minum dan tidur, beliau berjalan tanpa alas kaki. Tak henti-hentinya beliau memanjat bukit, hingga ia mendengar suara “Hai! Abdul Qodir kini kau diizinkan memsuki Baqhdad.”
Kisah ini diambil dari kitab Al Nurul Burhan atau Manakib, kitab ini dibaca bersama-sama tadi malam 22 Agustus oleh santri Al Anwar 02. Biasanya hal serupa dilaksanakan satu bulan sekali di Pondok Pesantren.
Perjalanan thalabul ilmi beliau ini memang penuh perjuangan dan mengharukan, sebagai seorang santri yang sama-sama dalam proses mencari ilmu kita harus mengadopsi s sifat luhur beliau, yang jujur dalam kondisi apapun serta sabar yang luar biasa.
Seperti yang diamanahkan Ustadz Muhammad pada upacara hari Senin kemarin. Beliau menceritakan kisah waliyullah Robi’ah Al Adawiyah. Ayahnya adalah seorang pejuang yang hebat dan suatu hari ia harus meninggalkan istri yang hamil tua untu jihad fi sabililah.
“Ishbir, fashbir, summashbir. Itulah pesan yang menuntun ayah Robi’ah Al Adawiyah sehingga rela meninggalkan istri untuk jihad fi sabililah.” Jelas ustadz Muhammad.
Pada suasana idul adah ini semoga kita dapat mengambil hikmah yang sama dari awal perjalanan beliau dalam merintis pencarian ilmu, hingga menjadi seorang dengan tingkat spiritual tinggi. Semoga seluruh santri yang mengamalkan kitab Manakib mendapat barokah beliau, amiin.