BURUNG YANG BUTA MEMBUKA MATA BATIN SANG SUFI
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna penciptaanya dibandingkan hewan dan tumbuhan. Meskipun beberapa diantaranya mempunyai kekurangan dan pada hakikatnya seluruh makhluk Allah tak lepas dari kesalahan. Namun dibalik itu semua Allah telah menentukan jalan yang terbaik serta serba tercukupi.
Pada suatu masa diriwayatkan kisah seorang Sufi yang semasa hidupnya dulu adalah ahli maksiat. Beliau adalah Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim Al-Mishri yang dijuluki Dzun An-Nun (Penguasa ikan dari Mesir). Nama ini diberikan karena dalam perjalanan Al- Mishri pernah difitnah mencuri permata seorang penumpang kapal. Kemudian beliau disiksa dan berdoa pada Allah, datanglah ikan-ikan yang membawa permata indah dimulut-mulutnya. Lalu diberikan satu permata yang lebih indah pada penumpang tadi. Sejak saat itu Al-Mishri dipanggil Dzunnun.
Kota kelahirannya adalah Akhmim, sebuah kota kuno di tepi timur Sungai Nil dan dataran tinggi di Mesir, pada tahun 796 M (180 H). Dalam proses thalabul ilmi beliau telah menginjakan kaki di berbagai daerah di Mesir. Bait Al-Maqdis Baghdad, Mekkah, Hijaz, Syina, Pegunungan Libanon, Anthokiah dan Lembah Kan’an.
Al-Mishri yang dululnya dalah ahli maksiat mampu terketuk nuraninya dengan hal yang mustahil terjadi. Suatu hari beliau sedang berjalan, kemudian beliau mendengar suara tangisan yang keras disisilain ada perayaan pesta pernikahan yang sangat meriah, kehidupan disana tidak singkron mereka. Mereka melupakan Allah saat kenikmatan ada bersamanya, kemudian baru memohon-mohon. Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan bertanya “Wahai Abu al-Faidl!” begitu ia memanggil demi menghormatinya. “Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah Swt?” “Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu.” Begitu jawab al-Misri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran “Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku.”
Lalu Dzunnun berkata: “Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji.
Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkuk berisi biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas.
Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad: “Cukup aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah Swt. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku”.
Beliau juga berguru pada imam Syuqran Al -Qairawani, wafat apada tahun 186 Hijriyah. Salah satu ilmu yang didalami oleh Al-Mishri adalah ilmu Zuhud. Sehingga beberapa gagasannya menjadi tonggak awal perkembangan ilmu tasawuf.
Dzun-Nun Al-Mishri banyak menambahkan jalan untuk menuju Allah dan memiliki pemahaman yang sangat dalam tentang konsep ma’rifat (mengenal Allah). Apa yang beliau tuju adalah “mencintai Allah, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang telah diturunkan, dan takut akan terpaling jalan.”
Ketika ditanya apa sesungguhnya hakikat cinta tersebut, Beliau menjawab: “Bahwa engkau cinta apa yang dicintai Allah, engkau benci apa yang dibenci-Nya, engkau memohonkan ridha-Nya. Engkau tolak apa-apa yang merintangimu dari jalan menuju Dia. Engkau tidak takut akan kebencian orang yang membenci. Engkau tidak mementingkan diri dan melihat diri sendiri, oleh karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya adalah lantaran engkau melihat diri sendiri.”
“Bukanlah orang yang ‘berisi’ (berpengetahuan) orang yang sungguh-sungguh menuntut dunia, sementara meringankan urusan akhiratnya. Bukan orang yang lekas marah di waktu harus memaafkan, dan takabbur ketika harus tawadhu’. Bukan orang yang kehilangan taqwa karena labanya, bukan orang yang marah ketika mendengar ia diperkatakan, dan bukan orang yang zuhud pada perkara yang disukainya saja, dan bukan orang yang meminta orang lain mementingkannya. Bukan orang yang lupa akan Allah di tempat taatnya, dan mengingat Allah hanya di waktu hajat kepada-Nya. Bukan pula orang yang mengumpulkan berbagai ilmu mengenal Tuhan tapi lebih mendahulukan hawa nafsunya. Bukan pula orang yang sedikit malunya di hadapan-Nya padahal Allah tetap menutup auratnya, dan bukan orang yang lemah melawan musuhnya (yakni syaithan). Bukan orang yang tak sanggup membuat muru’ah (menjaga martabat dan budi pekerti sehingga tidak janggal atau salah dalam pergaulan) menjadi pakaian, adab menjadi perisai, dan taqwa menjadi perhiasan. Bukan pula orang yang mengambil ilmu pengetahuan hanya untuk berbangga dan menyombongkan diri dalam majelisnya.”
Ketika ditanya tentang Ar-Ridha, Al-Mishri menjawab bahwa, Ar-Ridha adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Al-Qannad, yang mengatakan bahwa rida itu adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan.
Berkenaan dengan ahwal, Al-Mishri menjadikan mahaldaal ( cinta kepada Tuhan ) sebagai urutan pertama dari keempat ruang lingkup pembahasan tentang ma’rifat. Menurutnya, tanda-tanda orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnah Rasul, tidak mengabaikan syari’at. Ia menyatakan bahwa ada tiga simbol mahabbah yaitu rida terhadap hal-hal yang tidak disenangi, berprasangka baik terhadap sesuatu yang belum diketahui, dan berlaku baik dalam menentukan pilihan dan hal-hal yang diperingatkan.
Dari kisah Dzun An-Nun Al-Mishri kita dapat belajar bahwa Allah dapat membuka pintu hidayah melalui apapun. Hanya Allah yang maha membolak balikan hati umatnya. Semoga Allah selalu membuka pintu hidayah bagi kita semua dan menjaganya. Amiin